a. Sejarah Industri Kulit
Pemanfaatan kulit hewan sebagai salah satu peningkatan pendayagunaan hasil ternak merupakan salah satu upaya membangun peternakan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja dan usaha serta peningkatan devisa negara. Dewasa ini sudah bukan hal umum orang menggunakan kulit untuk berbagai keperluan sehari-hari, sehingga dapat dikatakan penggunaan kulit sudah memasyarakat, misal untuk sepatu, jaket, tas, sarung tangan dan lain-lain.
Kulit segar (kulit baru ditanggalkan dari hewannya) yang disimpan tanpa proses pengawetan akan cepat mengalami kerusakan. Kulit segar memiliki sifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya mikroorganisme. Kerusakan karena mikroorganisme ini akan berpengaruh terhadap kualitas kulit jadi (leather), sehingga perlu adanya pengolahan atau pengawetan (penyamakan) agar tidak mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
Dengan ditemukannya cara-cara penyamakan baru antara lain samak sintetis, samak crom, samak minyak, dan sebagainya, industri perkulitan mulai berkembang pesat, sehingga industri-industri kulit mempunyai peran sangat penting dalam menopang perekonomian negara. Produk kerajinan kulit sudah digunakan manusia sejak ribuan tahun yang lalu sebagai penutup kepala, selimut, pakaian dan berbagai keperluan dalam upacara adat. Kulit mentah merupakan produk hasil peternakan yang memiliki nilai tambah tinggi apabila telah mengalami proses lebih lanjut menjadi kulit hasil olahan (pickle, wet blue,crust, dan leather).
Kulit pada zaman modern pada saat ini diolah menjadi berbagai macam produk yang mempunyai nilai jual yang tinggi yaitu berupa sepatu, jaket, ikat pinggang, dompet, tas, sarung tangan, dll. Untuk mendapatkan hasil dengan kualitas yang memuaskan bahan yang dipakai juga harus berkualitas sehingga dalam pemilihan bahan perlu adanya pemilihan kulit (seleksi kulit) yang cermat.
Penggunaan kulit jadi di Indonesia didominasi oleh empat jenis kulit yakni: untuk kulit atasan sepatu, kulit sarung tangan, kulit jaket dan kulit jok. Dari kriteria tersebut memuat persyaratan yang menyangkut parameter teknis produk dan parameter lain yang terkait dengan aspek kualitas hasil produksi, sehingga penting adanya penyeleksian kulit untuk bahan produksi kerajinan kulit, standar kriteria ini dimaksudkan untuk digunakan oleh produsen kulit untuk menghasilkan produk berkualitas juga untuk mengikuti ketentuan akreditasi dan sertifikasi ekolabel yang berlaku di Indonesia dan standard internasional sehingga dapat memperlancar dalam pemasaran produk dari hasil kerajinan olahan kulit tersebut.
Kulit merupakan salah satu bagian dari makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan yang termasuk produk ternak non karkas sebagai hasil ikutan (by products) dari ternak potong yang dapat meningkatkan keuntungan selain dari penjualan karkas.
b. Pengertian Kulit
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan mempunyai beberapa fungsi yang penting besarnya ± 10-12% dari tubuh. Kulit adalah lapisan luar tubuh hewan ( kerangka luar ) tempat bulu hewan tumbuh ( Sunarto, 2000 disitasi oleh Aidil rahmat et al ) senada dengan pernyataan Suardana et al (2008) bahwa kulit adalah lapisan luar tubuh binatang yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu binatang itu tumbuh.
Kulit mamalia terbagi menjadi beberapa bagian dari segi histology menurut Judoamidjojo (1981)yaitu : Epidermis adalah lapisan luar kulit, Corium (derma) adalah bagian pokok tenunan kulit yang akan diubah menjadi kulit samak. dan, Hypodermis (subcutis), yang dikenal sebagai lapisan daging atau tenunan lemak, yang dihilangkan pada saat proses flesing pada proses penyamakan. Bagian bagian kulit dapat dilihat dalam Irisan penampang kulit dan keterangannya ( Franson 1981disitasi oleh Hoeruman (2000) :
Gambar Irisan penampang kulit
Tidak semua bagian kulit sama kualitasnya dalam satu lembar kulit, dijelaskan oleh Suardana et al, ( 2008 ). jenis kulit berdasarkan kualitasnya sebagai berikut :
1. bagian punggung adalah bagian kulit yang letaknya ada pada punggung dan mempunyai jaringan struktur yang paling kompak luasnya 40 % dari seluruh luas kulit.
2. bagian leher mempunyai kriteria kulitnya agak tebal, sangat kompak tetapi ada beberapa kerutan.
3. bagian bahu kulitnya lebih tipis, kualitasnya bagus, hanya terkadang ada kerutan yang dapat mengurangi kualitas.
4. Bagian perut dan paha struktur jaringan kurang kompak, kulit tipis dan mulur.
Dalam dunia industri kulit ada dua istilah yang menonjol yaitu hide dan skin. Hide adalah istilah kulit mentah yang berasal dari hewan berukuran besar dan berumur dewasa, misalnya : sapi, kerbau, unta, badak dan paus. Skin adalah kulit mentah yang berasal dari hewan yang berukuran kecil, misalnya domba, kambing, babi, dan reptil atau hewan besar yang belum dewasa misalnya : anak sapi dan anak kuda (Sharpouse, 1957. disitasi oleh Hoeruman, 2000).
c. Proses Pengulitan
Setelah proses penyembelihan dilaksanakan berlanjut proses pengulitan. Pengulitan menurut Nuhriawangsa (2003) dilakukan dengan cara kambing domba digantung dengan posisi kaki belakang di atas dan kepala di bawah. Kulit domba dan kambing tidak melekat erat pada karkas, kecuali pada bagian rusuk. Pengulitan domba atau kambing akan lebih mudah jika memasukkan udara pada bagian kaki (carpus metacarpus dan tarsus metatarsus) (Soeparno, 1992), sehingga dapat melepaskan kulit dari fell (membran tisu konektif yang tebal yang menyeliputi karkas) (Smith et al., 1978). Fell yang tetap menempel pada karkas dapat melindungi daging dan menghambat proses pengeringan (Blakely dan Bade, 1992).
Lebih lanjut Nuhriawangsa ( 2003) menerangkan, pengulitan dimulai dari bagian lingkar kepala bawah disayat dan dilakukan pengulitan dengan menyayat pada garis pengulitan pada dada atas sampai ke empat kaki. Pengulitan dimulai pada leher (A), dada atas (B), kaki depan (C) dan kaki belakang. Setelah kulit terbuka (D) dilakukan pengulitan dengan bahu tangan sampai terkelupas dan ditarik sampai pada punggung dan rusuk secara hati-hati (E). Kulit jika sudah terkelupas baru dilanjutkan penarikan sampai paha belang (F) dan batas ekor, dilakukan pemotongan ekor dan kulit terlepas semua (Smith et al., 1978).
Gambar Prosesing pengulitan pada domba dan kambing
d. Proses Penyamakan Kulit
Industri penyamatan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah (hides atau skins) menjadi kulit jadi atau kulit tersamak (leather) dengan menggunakan bahan penyamak. Pada proses penyamakan, semua bagian kulit mentah yang bukan colagen saja yang dapat mengadakan reaksi dengan zat penyamak. Kulit jadi sangat berbeda dengan kulit mentah dalam sifat organoleptis, fisis, maupun kimiawi.
Dalam Industri penyamatan kulit, ada tiga pokok tahapan penyamatan kulit,yaitu:
1. Proses Pengerjaan basah. (beam house).
2. Proses Penyamakan (tanning).
3. Penyelesaian akhir (Finishing).
Masing- masing tahapan ini terdiri dari beberapa macam proses, setiap proses memerlukan tambahan bahan kimia dan pada umumnya memerlukan banyak air, tergantung jenis kulit mentah yang dignakan serta jenis kulit jadi yang dikehendaki.
Secara prinsip, ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan, maka ada beberapa macam penyamakan yaitu:
a) Penyamakan Nabati.
Penyamakan dengan bahan penyamakan nabati yang berasal dari tumbuhan yang mengandung bahan penyamak misalnya kulit akasia, sagawe , tengguli, mahoni, dan kayu quebracho, eiken, gambir, the, buah pinang, manggis, dll. Kulit jadi yang dihasilkan misalnya kulit tas koper, kulit sol, kulit pelana kuda, kulit ban mesin, kulit sabuk dll.
b) Penyamakan mineral.
Penyamak dengan bahan penyamak mineral , misalnya bahan penyamak krom. Kulit yang dihasilkan misalnya kulit boks, kulit jaket, kulit glase, kulit suede, dll. Disamping itu ada pula bahan penyamak aluminium yang biasanya untuk menghasilkan kulit berwarna putih ( misalnya kulit shuttle cock).
c) Penyamakan minyak.
Penyamak dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain, biasanya disebut minyak kasar. Kulit yang dihasilkan misalnya: kulit berbulu tersamak, kulit chamois ( kulit untuk lap kaca) dll.
Dalam prakteknya untuk mendapatkan sifat fisis tertentu yang lebih baik, misalnya tahan gosok, tahan terhadap keringat dan basah, tahan bengkuk, dll, biasanya dilakukan dengan cara kombinasi.
Ada kalanya suatu pabrik penyamakan kulit hanya melaksanakan proses basah saja, proses penyamakan saja, proses penyelesaian akhir atau melakukan 2 tahapan atau ketiga- tiganya sekaligus.
1. Tahapan Proses Pengerjaan Basah ( Beam House).
Urutan proses pada tahap proses basah beserta bahan kimia yang ditambahkan dan limbah yang dikeluarkan dapat dilihat pada bagan 2 berikut ini.
a. Perendaman ( Soaking).
Maksud perendaman ini adalah untuk mengembalikan sifat- sifat kulit mentah menjadi seperti semula, lemas, lunak dan sebagainya. Kulit mentah kering setelah ditimbang, kemudian direndam dalam 800- 1000 % air yang mengandung 1 gram/ liter obat pembasah dan antiseptic, misalnya tepol, molescal, cysmolan dan sebagainya selama 1- 2 hari. Kulit dikerok pada bagian dalam kemudian diputar dengan drum tanpa air selama 1/ 5 jam, agar serat kulit menjadi longgar sehingga mudah dimasuki air dan kulit lekas menjadi basah kembali. Pekerjaan perendaman diangap cukup apabila kulit menjadi lemas, lunak, tidak memberikan perlawanan dalam pegangan atau bila berat kulit telah menjadi 220- 250% dari berat kulit mentah kering, yang berarti kadar airnya mendekati kulit segar (60-65 %). Pada proses perendaman ini, penyebab pencemarannya ialah sisa desinfektan dan kotoran- kotoran yang berasal dari kulit.
b. Pengapuran ( Liming).
Maksud proses pengapuran ialah untuk.
1) Menghilangkan epidermis dan bulu.
2) Menghilangkan kelenjar keringat dan kelenjar lemak.
3) Menghilangkan semua zat-zat yang bukan collagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak.
Cara mengerjakan pengapuran, kulit direndam dalam larutan yang terdiri dari 300-400 % air (semua dihitung dari berat kulit setelah direndam), 6-10 % Kapur Tohor Ca (OH)2, 3-6 % Natrium Sulphida (Na2S). Perendaman ini memakan waktu 2-3 hari.
Dalam proses pengapuran ini mengakibatkan pencemaran yaitu sisa- sisa Ca (OH)2, Na2S, zat-zat kulit yang larut, dan bulu yang terepas.
c. Pembelahan ( Splitting).
Untuk pembuatan kulit atasan dari kulit mentah yang tebal (kerbau-sapi) kulit harus ditipiskan menurut tebal yang dikehendaki dengan jalan membelah kulit tersebut menjadi beberapa lembaran dan dikerjakan dengan mesin belah ( Splinting Machine). Belahan kulit yang teratas disebut bagian rajah (nerf), digunakan untuk kulit atasan yang terbaik. Belahan kulit dibawahnya disebut split, yang dapat pula digunakan sebagai kulit atasan, dengan diberi nerf palsu secara dicetak dengan mesin press (Emboshing machine), pada tahap penyelesaian akhir. Selain itu kulit split juga dapat digunakan untuk kulit sol dalam, krupuk kulit, lem kayu dll. Untuk pembuatan kulit sol, tidak dikerjakan proses pembelahan karena diperlukan seluruh tebal kulit.
d. Pembuangan Kapur ( Deliming).
Oleh karena semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam lingkungan asam maka kapur didalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses- proses penyamakan. Misalnya :
1) Untuk kulit yang disamak nabati, kapur akan bereaksi dengan zat penyamak menjadi Kalsium Tannat yang berwarna gelap dan keras mengakibatkan kulit mudah pecah.
2) Untuk kulit yang akan disamak krom, bahkan kemungkinan akan menimbulkan pengendapan Krom Hidroksida yang sangat merugikan.
Pembuangan kapur akan mempergunakan asam atau garam asm, misalnya H2SO4, HCOOH, (NH4)2SO4, Dekaltal dll.
e. Pengikisan Protein ( Bating).
Proses ini menggunakan enzim protese untuk melanjutkan pembuangan semua zat- zat bukan collagen yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran antara lain:
1) Sisa- sisa akar bulu dan pigment.
2) Sisa- sisa lemak yang tak tersabunkan.
3) Sedikit atau banyak zat- zat kulit yang tidak diperlukan artinya untuk kulit atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses bating yang lebih lama.
4) Sisa kapur yang masih ketingglan.
f. Pengasaman (Pickling).
Proses ini dikerjakan untuk kulit samak dan krom atau kulit samak sintetis dan tidak dikerjakan untuk kulit samak nabati atau kulit samak minyak. Maksud proses pengasaman untuk mengasamkan kulit pada pH 3- 3,5 tetapi kulit kulit dalam keadaan tidak bengkak, agar kulit dapat menyesuaikan dengan pH bahan penyamak yang akan dipakai nanti.
2. Tahapan Proses Penyamakan ( Tanning).
Proses penyamakan dimulai dari kulit pikel untuk kulit yang akan disamakkrom dan sintan, sedangkan untuk kulit yang akan disamak nabati dan disamak minyak tidak melalui proses pickling ( pengasaman).
Fungsi masing-masing proses sbb:
a. Penyamakan.
Pada tahap penyamakan ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yakni:
1) Cara Penyamakan dengan Bahan Penyamakan Nabati.
a). Cara Counter Current
Kulit direndam dalam bak penyamakan yang berisis larutan ekstrak nabati + 0,50. Be selama 2 hari, kemudian kepekatan cairan penyamakan dinaikkan secara bertahap sampai kulit menjadi masak yaitu 3- 4 0Be untuk kulit yang tipis seperti kulit lapis, kulit tas, kuli pakaian kuda, dll sedang untuk kulit- kulit yang tebal seperti kulit sol, ban mesin dll a pada kepekatan 6-8 0 be. Untuk kulit sol yang keras dan baik biasanya setelah kulit tersanak masak dengan larutan ekstrak, penyamakan masih dilanjutkan lagi dengan cara kulit ditanam dalam babakan dan diberi larutan ekstrak pekat selama 2-5 minggu.
b). Sistem samak cepat.
Didahului dengan penyamakan awal menggunakan 200% air, 3% ekstrak mimosa (Sintan) putar dalam drum selam 4 jam. Putar terus tambahkan zat peyamak hingga masak diamkan 1 malam dalam drum.
2) Cara Penyamakan dengan Bahan Penyamakan Mineral.
a). Menggunakan bahan penyamak krom
Zat penyamak krom yang biasa digunakan adalah bentuk kromium sulphat basa. Basisitas dari garam krom dalam larutan menunjukkan berapa banyak total velensi kroom diikat oleh hidriksil sangat penting dalam penyamakan kulit. Pada basisitas total antara 0-33,33%, molekul krom terdispersi dalam ukuran partikel yang kecil ( partikel optimun untuk penyamakan). Zat penyamak komersial yang paling banyak digunakan memunyai basisitas 33,33%. Jika zat penyamak krom ini ingin difiksasikan didalam substansi kulit, maka basisitas dari cairan krom harus dinaikkan sehingga mengakibatkan bertambah besarnya ukuran partikel zat penyamak krom. Dalam penyamakan diperlukan 2,5- 3,0% Cr2O3 hanya 25 %, maka dalam pemakainnya diperlukan 100/25 x 2,5 % Cromosol B= 10% Cromosol B. Obat ini dilautkan dengan 2-3 kali cair, dan direndam selama 1 malam. Kulit yang telah diasamkan diputar dalam drum dengan 80- 100%air, 3-4 % garam dapur (NaCl), selma 10-15 menit .
b). Cara penyamakan dengan bahan penyamak aluminium (tawas putih).
Kulit yang telah diasamkan diputar dengan:
- 40- 50 % air.
- 10% tawas putih.
- 1- 2% garam, putar selama 2-3 jam lu ditumpuk selam 1 malam.
- Esok harinya kulit diputar lagi selama ½ – 1 jam, lalu gigantung dan dikeringkan pada udara yang lembabselama 2-3 hari. Kulit diregang dengan tangan atau mesin sampai cukup lemas.
3). Cara Penyamakan dengan Bahan Penyamakan Minyak.
Kulit yang akan dimasak minyak biasanya telah disamak pendahuluan dengan formalin. Kulit dicuci untuk menghilangkan kelebihan formalin kemudian dierah unuk mengurangi airnya, diputar dengan 20-30 % minyak ikan, selama 2-3 jam, tumpuk 1 malam selanjutnya digantung dan diangin- anginkan selam 7-10 hari.
Tanda-tanda kulit yang masak kulit bila ditarikmudah mulur dan bkas tarikan kelihatan putih. Kulit yang telah masak dicuci dengan larutan Na2CO3 1%.
b. Pengetaman (Shaving).
Kulit yang telah masak ditumpuk selama 1-2 hari kemudian diperah dengan mesin atau tangan untuk menghilangkan sebagian besar airnya, lalu diketam dengan mesin ketam pada bagian daging guna mengatur tebal kulit agar rata. Kulit ditimbang guna menentukan jumlah khemikalia yang akan diperlukan untuk proses- proses selanjutnya, selanutnya dicuci dengan air mengalir ½ jam.
c. Pemucatan ( Bleaching).
Hanya dikerjakan untuk kulit samak nabati dan biasanya digunakan asam- asam organik dengan tujuan:
1) Menghilangkan lek- flek bsi dari mesin ketam.
2) Menurunkan pH kulit yang berarti memudahkan warna klit.
Cara mengerjakan proses pemucatan, kulit diputar dengan 150-2005 air hangat (36- 40 0C ). 0,5-1,0 % asam oksalat selama ½- 1 jam.
d. Penetralan ( Neutralizing).
Hanya dikerjakan untuk kulit samak krom. Kulit samak krom dilingkungannya sangat asam ( pH 3-4) maka kulit perlu dinetralkan kembali agar tidak mengganggu dalam proses selanjutnya. Penetralan biasanya mempergunakan garam alkali misalnya NaHCO3, Neutrigan dll.
Cara melakukan penetralan, kulit diputar dengan 200% air hangat 40-600C. 1-2 % NaHCO3 atau Neutrigan. Putar selama ½- 1 jam.Penetralan dianggap cukup bila ½- ¼ penampang kulit bagian tengah berwarna kunung terhadap Bromo Cresol Green (BCG) indikator, sedangkan kulit bagian tepi berwarna biru. Kulit kemudian dicuci kembali.
e. Pengecetan Dasar ( Dyeing).
Tujuan pengecetan dasar ialah untuk memnberikan warna dasar pada kulit agar pemakaian cat tutup nantinya tidak terlalu tebal sehingga cat tidak mudah pecah.
Cat dasar yang dipakai untuk kulit ada 3 macam:
1). Cat direct, untuk kulit samak krom.
2). Cat asam, untuk kulit samak krom dan nabati.
3). Cat basa, untuk kulit samak nabati.
f. Peminyakan (Fat Liguoring).
Tujuan proses peminyakan pada kulit antara lain sebagai berikut:
1). Untuk pelumas serat- serat kulit ag kulit menjadi tahan tarik dan tahan getar.
2). Menjaga serat kulit agar tidak lengket satu dengan yang lainnya.
3). Membuat kulit tahan air.
Cara mengerjakan peminyakan, kulit setelah dicat dasar, diputar selama ½ – 1jam dengan 150 %- 200% air 40- 60 0C, 4-15% emulsi minyak. Ditambahkan 0,2- 0,5 % asam formiat untuk memecahkan emulsi minyak. Minyak akan tertinggal dalam kulit dan airnya dibuang. Kulit ditumpuk pada kuda- kuda selama 1 malam.
g. Pelumasan ( Oiling).
Pelumasan hanya dikerjakan untuk kulit sol samak nabati. Tujuan pelumasan ialah untuk menjaga agar bahan penyamak tidak keluar kepermukaan kulit sebelum kulit menjadi kering, yang berakibat kulit menjadi gelap warnanya dan mudah pecah nerfnya bila ditekuk..
Cara pelumasan, kulit sol sebagian airnya diperah kemudian kulit diulas dengan campuran:
1). 1 bagian minyak parafine.
2). 1 bagian minyak sulfonir.
3). 3 bagian air.
Kulit diulas tipis tetapi rata kedua permukaannya, kemudian dikeringkan.
h. Pengeringan.
Kulit yang diperah airnya dengan mesin atau tangan kemudian dikeringkan. Proses ini bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia didalam kulit. Kadar air pada kulit menjadi 3-14%.
i. Kelembaban
Kulit setelah dikeringkan dibiarkan 1-3 hari pada udara biasa agar kulit menyesuaikan dengan kelembaban udara sekitarnya. Kulit kemudian dilembabkan dengan ditanam dalam serbuk kayu yang mengandung air 50- 55 % selama 1 malam, Kulit akan mengambil air dan menjadi basah dengan merata. Kulit kemudian dikeluarkan dan dibersihkan serbuknya.
j. Peregangan Dan Pementangan.
Kulit diregang dengan tangan atau mesin regang. Tujuan peregangan ini ialah untuk menarik kulit sampai mendekati batas kemulurannya, agar jika dibuat barang kerajinan tidak terlalu mulur, tidak merubah bentuk ukuran. Setelah diregang sampai lemas kulit kemudian dipentang dan setelah kering kulit dilepas dari pentangnya, digunting dibagian tepinya sampai lubang-lubang dan keriput- keriputnya hilang.
3. Tahapan Penyelesaian Akhir ( Finishing).
Penyelesaian akhir bertujuan untuk memperindah penampilan kulit jadinya, memperkuat warna dasar kulit, mengkilapkan, menghaluskan penampakan rajah kulit serta menutup cacat-cacat atau warna cat dasar yang tidak rata.
e. Kerusakan Kulit Mentah
Menurut Suaradana et al., (2008) kulit binatang ada yang mempunyai kualitas baik, namun ada pula yang kurang berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan -kerusakan pada kulit tersebut, yang mengakibatkan menurunnya kualitas. Kerusakan kulit mentah pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kerusakan ante-mortem dan post-mortem
1. Kerusakan ante-Mortem
Kerusakan ante-mortem adalah kerusakan kulit mentah yang terjadi pada saat hewan (binatang) masih hidup. Kerusakan kulit dapat disebabkan oleh beberapa macam, antara lain sebagai berikut :
a. Parasit
Jenis sumber kerusakan ini misalnya: saroptik, demodex atau demodecosis, caplak, dan kutu. Beberapa jenis parasit ini mengakibatkan rusaknya rajah pada kulit binatang, yang ditandai dengan adanya lubang-lubang kecil, tidak ratanya permukaan kulit atau adanya lekukan-lekukan kecil.
b. Penyakit
Banyak faktor yang menyebabkan binatang menjadi sakit, misalnya akibat kurang baik dalam pemeliharaan. Bila penyakit tidak segera diobati akan berpengaruh terhadap kualitas kulitnya, yang kadang sulit diperbaiki.
Penyakit demam yang berkepanjangan, misalnya sampar lembu dan trypono-somiosis akan menyebabkan struktur jaringan kulit menjadi lunak. Lalat hypoderma bovis, menyebabkan kulit berlubang-lubang keril yang tersebar di seluruh bagian luar kulit. Kemudian, kerusakan yang disebabkan oleh kutu busuk, ditandai dengan adanya benjolan-benjolan kecil yang keras pada bagian bulu.
Bila kulit mengalami kerusakan baik struktur maupun permukaannya, akan menyebabkan kualitas kulit menjadi rendah. Di samping penyakit hewan seperti tersebut di atas, terdapat pula bermacam bakteri, virus, jamur (fungi) yang membuat kerusakan-kerusakan lokal yang sangat sulit untuk diperbaiki.
Kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri adalah kulit menjadi busuk, dan kerusakan ini terjadi pada kulit sebelum diawetkan. Ada pula penyakit musiman yang dapat membuat kerusakan besar pada kulit.
c. Umur tua
Binatang yang berumur tua, memiliki kulit yang berkualitas rendah. Pada kulit binatang yang telah mati sebelum dipotong, akan terdapat pembekuan-pembekuan darah yang tidak mungkin dihilangkan.
d. Sebab mekanis
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan terhadap binatang, yang dapat menurunkan kualitas kulitnya. Cap bakar yang dipakai dalam identifikasi atau pengobatan, akan mengakibatkan rusaknya kulit yang tidak mungkin untuk diperbaiki. Cap bakar, menyebabkan Corium menjadi keras atau kaku dan tidak akan hilang. Goresan-goresan duri, kawat berduri, tanduk, berbagai tekanan, sabetan cemeti (cambuk), alat-alat pengendali, dan lain sebagainya, juga dapat menyebabkan kerusakan kulit.
Kerusakan kulit mekanis ini sering dijumpai pada binatang piaraan yang digunakan dalam kepentingan pertanian atau industri. Namun, kerusakan mekanis ini tidak separah kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit. Di samping itu, pukulan-pukulan yang dilakukan terhadap binatang sebelum dipotong, dapat menyebabkan memar pada kulit, sehingga darah akan menggumpal. Karena penggumpalan darah itu, pembuluh darah akan mengalami kerusakan, sehingga kulit menjadi berwarna merah kehitam-hitaman. Bila hal ini terjadi, maka akan memudahkan pembusukan pada saat proses pengeringan.
2. Kerusakan post-Mortem.
Kerusakan post-mortem adalah kerusakan kulit yang terjadi pada saat pengolahan kulit, misalnya pada proses pengulitan, pengawetan, penyimpanan, dan pengangkutan, disajikan dalam uraian sebagai berikut :
a. Pengulitan
Pengulitan merupakan proses pemisahan kulit dari tubuh binatang dengan cara pemotongan serabut kulit lunak. Oleh karena itu, dalam pengulitan ini dibutuhkan keahlian khusus. Pada kegiatan ini, kerasakan kulit dapat terjadi karena kesalahan dalam penggunaan peralatan, misalnya pisau. Hal ini dapat disebabkan karena kurang ahlinya orang yang menggunakan peralatan pada proses pengulitan ini.
Pemotongan dan pengulitan harus dilakukan pada tempat yang memenuhi persyaratan, jangan sampai dilakukan di lantai yang kasar, yang dapat mengakibatkan kerusakan rajah kulit akibat pergesekan. Kebersihan binatang sebelum dipotong juga perlu diperhatikan, karena merupakan salah satu faktor penentu mutu kulit yang dihasilkan.
Bila pelaksanaan pengulitan ini tidak sesuai dengan aturan, akan berakibat bentuk kulit tidak baik dan tidak normal. Dalam pengulitan ini, pembersihan kulit dari sisa-sisa daging yang melekat pada Corium harus dilakukan sebaik mungkin, karena sisa daging yang tertinggal dapat menjadi sumber tumbuhnya bakteri pembusuk kulit, yang dapat menyebabkan terjadinya pembusukan kulit.
b. Pengawetan
Kerusakan kulit dapat terjadi pula pada saat pengawetan. Misalnya, pengawetan dengan sinar matahari yang dilakukan di atas tanah akan menurunkan kualitas kulit, karena proses pengeringan tidak merata. Kulit bagian luar terlalu kering. sedangkan bagian tengah dan dalam masili basah, sehingga dengan demikian masih memungkinkan mikroorganisnic pembusuk (flek busuk) yang disebut dengan sun-blister tetap hidup dan berkembang biak. Sebaliknya, kulit bagian luar yang lerlalu kering akan membuat rajah menjadi pecah-pccah dan bila dibiarkan dalam kondisi demikian kulit akan berkerut.
Mengeringkan kulit pada saat panas matahari dalam kondisi puncak (pada siang hari), akan mengakibatkan Collagen terbakar dan mengalami perubahan sifat (glue-forming), sehingga akan menjadi penghalang dalam pengolahan kulit selan jutnya. tcrutama dalam proses perendaman. Kerusakan kulit yang diawetkan dengan garam kering, ditandai dengan adanya flek biru, hijau. atau cokelat pada rajah. Kerusakan ini disebabkan pemakaian garam dengan konsentrasi yang kurang tepat. Flek-flek tersebut tidak dapal dihilangkan, Sambil mcnunggu proses selanjutnya. kulit yang telah diawetkan tersebut harus disimpan.
Penyimpanan harus dilakukan dengan baik. Karena dalam penyimpanan ini tetap ada kemungkinan terjadi kerusakan. Penyimpanan yang terlalu lama di dalam ruang berasap, dapat menurunkan kualitas kulit. Kontaminasi asap dengan rajah kulit akan mempengaruhi warna dan menyebabkan permukaan rajah menjadi kasar.
Kulit yang diawelkan dengan penggaraman basah. bila disimpan terlalu lama akan rusak karena bakteri pembusuk. Kulit yang disimpan di tempat yang basah atau lembab, lama -kelamaan akan ditumbuhi jamur di permukaannya, sehingga mudah menjadi suram dan bila dicat tidak dapat rata.
c. Transportasi (pengangkutan)
Dalam pengangkutan kulit dapat pula timbul kerusakan yang merugikan misalnya, terjadinya gesekan-gesekan pada waktu pengangkutan yang dapat menyebabkan kerusakan pada rajah kulit. Apalagi bila menggunakan kawat untuk mengikat kulit, maka akan timbul bekas pada rajah yang sulit dihilangkan. Pengangkutan dengan kapal laut daiam waktu yang lama, akan menyebabkan kulit lembap, bercendawan. dan akhirnya busuk.
3. Kerusakan dan Mutu Kulit
Kerusakan akan sangat berpengaruh pada kualitas atau mutu kulit yang dihasilkan. Ada kerusakan yang mengakibatkan cacat-cacat kulit sehingga menurunkan mutunya, tetapi ada pula kerusakan yang hanya menurunkan mutunya saja. Dalam buku penuntun tentang penyamakan kulit dijelaskan sebagai berikut.
a) Busuk (rusak) yang terjadi pada kulit mentah, akan semakin parah pada saat proses perendaman dilakukan. Bila pengolahan dilanjutkan, maka akan dihasilkan kulit yang berkualitas rendah (jelek).
b) Irisan-irisan dalam yang terjadi pada saat pengulitan, akan menimbulkan luka yang berbekas (tidak bisa hilang) dan membuat kulit mudah robek. Kulit yang demikian dikelompokkan dalam kulit berkualitas rendah.
c) Cacat yang disebabkan oleh penyakit kulit raisalnya kudis, akan menyebabkan timbulnya benjolan keras atau lekukan-lekukan pada permukaan kulit yang sulit dihilan gkan. Bila diadakan pewarnaan, warna tidak akan dapat merata, dan cat pada bagian kulit yang cacat tersebut mudah pecah dan terkelupas. Kulit dengan cacat seperti ini sangat terbatas pemanfaatannya.
d) Flek darah adalah cacat yang disebabkan oleh pukulan, cambukan, atau sebab mekanis lain, yang mengenai tubuh binatang pada masa hidupnya. Cacat flek darah ini dapat terjadi pula pada kulit yang berasal dari binatang yang mati sebelum dipotong. Kulit yang demikian, bila digunakan sebagai kulit perkamen, tidak akan banyak berpengaruh karena kekuatan kulit masih sama, hanya dengan warna yang kuning menarik. Namun, bila kulit tersebut disamak, akan menjadi leather (kulit-jadi) yang tidak rata, karena permukaan kulit yang tidak cacat akan berwarna mengkilap, tetapi bagian kulit yang cacat, akan buram.
f. Struktur Kulit
Menurut Suaradana et al., ( 2008 ) secara umum, istilah struktur berarti susunan. Namun dalam dunia perkulitan, yang dimaksudkan dengan struktur kulit ialah kondisi susunan serat kulit yang kosong atau padat, dan bukan mengenai tebal atau tipisnya lembaran kulit. Dengan kata lain, menilai kepadatan jaringan kulit menurut kondisi asal (belum tersentuh pengolahan). Struktur kulit dapat di bedakan menjadi lima kelompok berikut :
1. Kulit berstuktur baik
Kulit yang berstruktur baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : perbandingan antara berat, tebal, dan luasnya seimbang, perbedaan tebal antara bagian croupon, leher, dan perut hanya sedikit, dan bagian-bagian tersebut permukaannya rata, dan kulit terasa padat (berisi)
2. Kulit berstruktur buntal (Gedrongen).
Kulit yang berstruktur buntal memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Kulit tampak tebal, bila dilihat dari perbandingan natara berat dengan luas permukaan kulitnya, Perbedaan anatara croupon, leher, dan perut hanya sedikit.
3. Kulit berstruktu cukup baik.
Kulit yang berstruktur cukup baik memiliki ciri-cir sebagai berikut : kulit tidak begitu tebal, bila dilihat dari perbandingan antara berat dengan luas permukaan kulit, Kulit berisi dan tebalnya merata
4. Kulit berstruktur kurang baik.
Kulit yang berstruktur kurang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : bagian croupon dan perut agak tipis, sedangkan bagian leher cukup tebal, Peralihan dari bagian kulit yang tebal ke bagian kulit yang tipis tampak begitu menyolok, dan Luas bagian perut agak berlebihan, sehingga bagian croupun luasnya berkurang.
5. Kulit brstruktur buruk.
Kulit yang berstruktur buruk memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Bagian croupon tampak tipis dan kulit tidak berisi, sedangkan kulit bagian perut dan leher agak tebal, Pada umumnya berasal dari kulit binatang yang berusia tua, dan luas croupon agak berkurang dan bagian perut lebar.
g. Cacat Kulit dan Penyebabnya
Menurut Suaradana et al., ( 2008 ) kulit binatang sangat besar manfaatnya dan tinggi nilai harganya dalam pembuatan produk dari kulit untuk kebutuhan manusia. Karena besarnya manfaat dan tingginya harga kuiit binatang ini, maka faktor-faktor yang mempengaruhi peternakan hewan terhadap kualitas kulit binatang perlu diperhatikan, seperti pengaruh iklim, perkembangbiakan, makanan ternak, perawatan, dsb. Uraian berikut menjelaskan ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kualitas kulit binatang agar tidak mengalami kecacatan dan berkualitas baik.
1. Pengaruh usaha ternak terhadap kualitas kulit.
Pada dasarnya usaha peternakan ditujukan untuk menghasilkan bahan makanan berupa daging, susu, bagi kebutuhan manusia. Akan tetapi usaha, usaha peternakan juga bisa menghasilkan kulit yang merupakan komoditas unggulan dan sejajar dengan hasil yang berupa bahan makanan. Karena harganya yang cukup tinggi, maka sekarang usaha peterna kan juga sangat memperhatikan faktor-faktor yang bisa meningkatkan kualitas kulit.
2. Pengaruh keadaan kulit terhadap kualitas kulit
Kulit yang berkualitas baik adalah kulit yang dihasilkan dari hewan yang sehat dan gizinya baik, sehingga menghasilkan kulit yang lemas dan dapat dilipat. Sedangkan kulit yang kualitasnya kurang adalah kulit yang dihasilkan dari hewan yang sakit atau kondisinya tidak sehat, sehingga kondisi kulit menjadi kaku dan kering. Bila kita memotong hewan yang akan diambil dagingnya, maka hewan tersebut harus dalam keadaan sehat, sehingga kulitnya pun berkualitas baik.
3. Pengaruh iklim terhadap kualitas kulit.
Temperatur, tekanan udara, kelembaban dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang periu diperhatikan sebagai pengaruh iklim terhadap kualitas kulit. Peternakan hewan yang bertujuan untuk menghasilkan kulit binatang harus memperhatikan faktor-faktor tersebut agar kualitas kulit yang dihasilkan tetap baik. Setiap daerah mempunyai iklimnya sendiri, sehingga temak yang kulitnya akan diambil harus dipelihara sesuai dengan iklim yang cocok untuknya.
4. Pengaruh adaptasi terhadap kualitas kulit.
Perpindahan tempat akan berpengaruh terhadap hewan yang kulitnya akan diambil. Ada kalanya hewan tidak tahan terhadap bibit penyakit yang ada pada suatu daerah tempat ia berpindah. Hewan yang terkena penyakit akan menghasilkan kulit yang tidak berkualitas juga. Untuk itu, adaptasi hewan terhadap tempat baru juga harus mendapatkan perhatian.
5. Pengaruh makanan terhadap kualitas kulit
Makanan yang baik akan berpengaruh terhadap berat badan hewan dan kesehatannya. Berat badan hewan berpengaruh terhadap kualitas kulit yang dihasilkannya.
6. Pengaruh perawatan terhadap kualitas kulit
Kerusakan kulit juga merupakan akibat dari perawatan yang tidak baik terhadap hewan. Hal hal yang menyebabkan nilai kulit menurun misalnya hewan dicambuk, dipukul, terkena duri atau kawat, terbentur, dan sebagainya. Perlakuan semacam itu terhadap hewan akan berakibat peradangan atau luka pada kulit hewan, sehingga pada proses penyamakan akan menimbulkan tanda atau cacat yang mengurangi kualitas kulit.
Dalam penentuan kualitas kulit hewan, di samping faktor -faktor yang disebutkan di atas, ada faktor -faktor lain yang juga menentukan, yaitu pemotongan hewan, pengulitan dan proses penyamakan. Contoh-contoh penurunan kualitas kulit yang menyebabkan kecacatan kulit antara lain:
1. Pemeliharaan
Hewan tidak dirawat dengan baik.
Kesehatan hewan tidak diperhatikan
2. Makanan
Hewan tidak mendapatkan makanan secara teratur
Makanan tidak bergizi
3. Perlakuan
Hewan dicambuk sampai luka
Hewan luka karena penyakit
Hewan tidak diobati
4. Pengulitan
Cara pengulitan hewan tidak benar
Pisau sayat tidak tajam/tumpul
5. Penyamakan
Proses pengawetan yang tidak benar
Terjadinya kesalahan pada proses penyamakan
h. Klasifikasi Kulit
Usaha dibidang pengolahan kulit mempunyai prospek jangka panjang yang cukup bagus, sehingga banyak bermunculan perusahaan – perusahaan pengolahan kulit baik skala nasional maupun internasional dalam pemasarannya, untuk menyeragamkan mutu/kualitas produk kulit di indonesia. Maka berdasarkan hal tersebut pemerintah indonesia menerbitkan Standar Nasional Indonesia ( SNI ) untuk standar seleksi kulit mentah standar industri, antara lain sebagai berikut :
1. Kulit Domba Mentah Basah
Standar ini meliputi Diskripsi, klasifikasi, persyaratan, penandaan dan pengemasan serta pengambilan contoh. yaitu sebagai berikut :
1) Diskripsi
Kulit Domba Mentah Basah adalah kulit yang diperoleh dari hasil pemotongan ternak domba, dimana kulit tersebut telah dipisahkan dari seluruh bagian dagingnya, baik yang segar maupun yang digarami.
2) Persyaratan
1) Kriteria dan spesifikasi
Bau, berbau khas kulit domba
Warna dan kebersihan, merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
Bulu, tidak rontok
Ukuran kulit, dasar penentuan ukuran kulit dipergunakan lembar kulit atau panjang kulit dalam cm/feet square
Elastisitas, cukup elastis
Kandungan air
• Kulit mentah segar, maksimum 66 %
• Kulit mentah garaman, maksimum 25 %
2) Cacat
Mekanis : luka cambukan, goresan potongan pisau dan lain lain
Parasit : caplak, lalat dan lain lain
• Bahan pengawet, garam Na CL khusus untuk kulit garaman
• Tehnik, kontaminasi dan hygiene
3) Tehnik
Kulit setelah dipisahkan dari karkas kemudian dibersihkan dari sisa-sisa daging/lemak yang menempel pada kulitKemudian kulit diawetkan dengan penggaraman dengan 2 cara yaitu:
a) Sistem pencelupan dalam larutan garam yaitu setelah kulit dibersihkan kemudian dicelupkan kedalam larutan garam jenuh selama ± 24 jam, lalu ditiriskan kemudian ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya.
b) Sistem penaburan garam kristal yaitu setelah kulit dibersihkan lalu ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya
Catatan : penumpukan kedua cara ini diperhatikan agar tumpukan kulit paling bawa diberi alas papan dan jangan mencuci kulit dengan air sebelum kulit digarami. Kulit siap untuk di proses lebih lanjut di industri penyamakan kulit.
4) Kontaminasi
Tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme dan serangga serta larvanya.
5) Hygiene
Tempat penyimpanan harus bersih dan mudah dikontrol
6) Mutu kulit
1. Mutu kuit I,
Dengan syarat berbau kulit khas kulit domba cerah bersih, tidak ada cacat ( lubang-lubang , penebalan kulit ). Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66 %, sedangkan pada kulit mentah garaman 25%.
2. Mutu II,
Dengan syarat berbau khas kulit domba, cerah, bersih, cukup elastis, terdapat sedikit cacat diluar daerah punggung (croupon) dan bulu tidak rontok. Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66 %, sedangkan pada kulit mentah garaman maksimal 25 %.
3. Mutu kulit III,
Dengan syarat berbau khas kulit domba, warna tidak cerah, kurang elastis, tidak utuh/banyak cacat dan ada kerontokan bulu, Kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66 %, sedangkan pada kulit mentah garaman maksimal 25 %.
4. Afkir / Reject,
Menyimpang dari mutu I,II, dan III
7) Penandaan dan pengemasan
a) Penandaan
Mutu kulit I
Mutu kulit II
Mutu kulit III
b) Pengemasan.
Kulit dikemas berdasarkan lasifikasi mutu dengan memakai label yang berisi
Nama pemilik
Mutu kulit
Jumlah lembar kulit
8) Pengambilan contoh
Cara pengambilan contoh, untuk setiap mutu contoh (sample) di ambil secara acak 5 % dari jumlah lembar kulit atau minimal 1 (satu) lembar kulit,diuji organoleptis dan diambil oleh petugas yang bersertifikat dan berpengalamanyang ditetapkan oleh direktur jendral peternakan atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Pemeriksaan organoleptik dengan nomor : Nomor 008-MP / SPI- NAK.
2. Kulit Kambing Mentah Basah
Standar ini meliputi Diskripsi, Klasifikasi, Persyaratan, Penandaan dan Pengemasan serta pengambilan contoh. Yaitu sebagai berikut :
a. Deskripsi
Kulit kambing mentah basah adalah kulit yang diperoleh dari hasil pemotongan ternak kambing, dimana kulit tersebut telah dipisahkan dari seluruh bagian dagingnya, baik yang segar maupun yang digarami.
b. Persyaratan
1) Kriteria dan spesifikasi
Bau, berbau khas kulit kambing
Warna dan kebersihan, merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
Bulu, tidak rontok
Ukuran kulit, dasar penentuan ukuran kulit dipergunakan lembar kulit atau panjang kulit dalam cm/feet square
Elastisitas, cukup elastis
Kandungan air
• Kulit mentah segar, maksimum 66 %
• Kulit mentah garaman, maksimum 25 %
2) Cacat
Mekanis : luka cambukan, goresan potongan pisau dan lain lain
Termis : cap bakar/terkena api
Parasit : caplak, lalat dan lain lain
Termis : cap bakar/terkena api
• Bahan pengawet, garam Na CL khusus untuk kulit garaman
• Tehnik, kontaminasi dan hygiene
3) Tehnik
Kulit setelah dipisahkan dari karkas kemudian dibersihkan dari sisa-sisa daging/lemak yang menempel pada kulit
4) Kemudian kulit diawetkan dengan penggaraman dengan 2 cara yaitu:
a) Sistem pencelupan dalam larutan garam yaitu setelah kulit dibersihkan kemudian dicelupkan kedalam larutan garam jenuh selama ± 24 jam, lalu ditiriskan kemudian ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya.
b) Sistem penaburan garam kristal yaitu setelah kulit dibersihkan lalu ditaburi kristal garam secukupnya untuk kemudian ditumpuk pada tempatnya. Catatan : penumpukan kedua cara ini diperhatikan agar tumpukan kulit paling bawa diberi alas papan dan jangan mencuci kulit dengan air sebelum kulit digarami. Kulit siap untuk di proses lebih lanjut di industri penyamakan kulit
5) Kontaminasi
Tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme dan serangga serta larvanya.
6) Hygiene
Tempat penyimpanan harus bersih dan mudah dikontrol.
Klasifikasi kualitas kulit domba mentah segar menurut (Purnomo, 1985 disitasi oleh Hoeruman, 2000), adalah sebagai berikut :
1. Kelas satu
Kulit harus berasal dari hewan sehat, pemotongan dan persiapan yang benar, bebas dari lemak, sisa daging dan kontaminasi tanda cacat. Setiap tanda, irisan, bekas penyakit, kerontokan rambut, hancur, kerusakan karena asap, air dan serangga atau penyimpanan yang jelek akan menurunkan kelas kulit. Berat kulit harus 450 g atau lebih
2. Kelas dua
Kulit kelas dua seperti kulit kelas satu tetapi terdapat sedikit kerusakan pada satu sisi saja. Berat kulit tidak boleh kutang dari 340 g.
3. Kelas tiga
Kulit kelas tiga mungkin menunjukan dua dari cacat–cacat dibawah ini :
Tanda cap kecil
Irisan dan lubang pada bagian perut
Sedikit rusak atau bulu rontok pada bagian perut
Kerusakan oleh asap, air, serangga pada bagian tepi. Berat kulit tidak boleh kurang dari 300 g
4. Kelas empat
Kulit kelas empat adalah semua kulit dibawah kulit kelas tiga . berat kulit harus lebih dari 200 g
5. Kelas reject/penolakan
Kulit ditolak bila beratnya kurang dari 230 g, berasal dari hewan muda dan yang menunjukan kerusakan ekstensif dari berbagai sebab pada bagian tengah, sehingga tidak memadai untuk disamak.
i. Metode Seleksi
Walaupun proses pengolahan atau pengawetan kulit telah dilakukan dengan hati-hati dan menurut ketentuan yang benar, namun ternyata hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan. Kemungkinan setelah kering, kulit menjadi tidak sama kualitasnya.
Memilah kulit bukanlah hal yang mudah karena sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil produk yang akan dihasilkan. Dari setiap jenis ternak akan berbeda semisal melalui ukuran, kualitas dan beratnya, seperti diterangkan oleh Suardana et al, (2008) bahwa dalam perdagangan, kulit dapat dikelompokkan/dikelaskan berdasarkan kualitas dan beratnya, namun untuk kambing dan domba diseleksi berdasarkan ukuran bukan beratnya dikelaskan menjadi beberapa kualitas yaitu :
1. Kelas I, adalah kulit yang panjangnya 100 cm, lebar 70 cm
2. Kelas II, adalah kulit yang panjangnya 100 cm, lebar 60 cm.
3. Kelas III, adalah kulit yang panjangnya 90 cm, lebar 55 cm.
4. Kelas IV, adalah kulit yang panjangnya 80 cm, lebar 50
5. Kelas V, adalah kulit yang panjangnya 70 cm, lebar 45 cm
6. Kelas afkir, adalah kulit yang panjangnya kurang dari 70 cm.
Pengusaha kulit menyamak sendiri kulit yang akan diolah menjadi kerajinan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan sehingga menerima kulit dari pengumpul kulit dalam bentuk kulit garaman seperti yang dikemukakan Gumilar (2010) bahwa sebagian besar pengrajin penyamakan kulit melakukan prosesing kulit dimulai dari kulit mentah garaman yang didapat dari bandar kulit sampai dengan menjadi kulit jadi (leather), sedangkan sebagian kecil saja dari pengrajin tersebut memulai proses produksinya dari kulit pikel. Perdagangan kulit jadi dilakukan berdasarkan satuan luas kulit (square feet). Pembelian kulit domba mentah segar dilakukan dalam satuan lembar dan pada awal proses serta beberapa tahapan proses lainnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat kulit yang akan diproses sebagai dasar penggunaan bahan kimia. Square feet merupakan satuan luas, dengan perbandingan square feet ke square meter ( m2 ) adalah 0,092903 m2 ( 30,48 cm2 x 30,48 cm2 ), menurut Widarto (2008).
Rabu, 26 Desember 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar